Hasil-Hasil Budaya Manusia dan Penderitaan
|
Contoh lagu tentang
penderitaan
EBIET G. ADE - KALIAN
DENGARKAN KELUHANKU
Dari pintu ke pintu kucoba
tawarkan nama
demi terhenti tangis anakku
dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
memandangku curiga
seperti hendak telanjangi dan
kulit jiwaku
Apakah buku diri ini selalu
hitam pekat?
Apakah dalam sejarah orang
mesti jadi pahlawan?
Sedang Tuhan di atas sana tak
pernah menghukum
dengan sinar mataNya yang
lebih tajam dari matahari
Kemanakah sirnanya nurani
embun pagi
yang biasanya ramah kini membakar
hati?
Apakah bila terlanjur salahakan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk
kembali
Kembali dari keterasingan ke
bumi beradab
ternyata lebih menyakitkan
dari derita panjangTuhan,
bimbinglah batin ini
agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku
kembali bersatu
Ke manakah sirnanya nurani embun pagi
Ke manakah sirnanya nurani embun pagi
yang biasanya ramah kini
membakar hati ?
Apakah bila terlanjur salahakan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk
kembali
Puisi: Manusia Dan Penderitaan
jemari-jemari kasta telah membelai
Antara si miskin & si kaya tampak menjulang
Yang lemah tersingkir bagai bangkai
Yang jaya makin congkak haus kemewahan
Tak ada lagi patri asih sesama
Rentenir-rentenir lenggak lenggok jalan pemangsa
Tangis bayi habis suara
Priuk nasi terganti pucuk-pucuk akasia
Sementara itu dewa-dewa rakyat berebut kursi nan empuk
Duduk manis dengan perut makin gendut
Hilang sudah janji-jnji pengisi perut
Duit simiskinpun terus diparut
Musnah asa dalam nestapa
Kardus bekas tetap seperti itu adanya
Kolong jembatan penuh sesak hingga tua
Sementara sikaya makin kaya
Inikah kewarasan dari negeri nan elok
Dihuni mucikari-mucikari rakyat yang goblok
Sungguh tak layak dengan hasil bumi yang terus diobok-obok
Dasar serakah, tikus got yang jorok
Menangis, para tetua bunda
Istana nan elok dari kardus musnah sudah
Sabarlah ini hanya awal yang tak jelas akhirnya
Kembali kemasa di atas tumpukan sampah
Puisi : Bahagiaku Di Ujung Tanduk
saat bahagia bersamamu
kian meluap merekah mekar mewangi
mengisi relung hatiku
di sepanjang waktu ku selalu bahagia
entah kapan
bahagiaku di ujung tanduk
tangis ku rasa tiap saat
resah dan gelisah mewarnai hariku
kini ku hidup dengan sisa -sisa kenangan
bahagiaku di ujung tanduk
merobek semua memori yang kusimpan
kankah bahagiaku kembali bersua
walau bahagiaku diujung tanduk
ku kan selalu mengenaNg
jemari-jemari kasta telah membelai
Antara si miskin & si kaya tampak menjulang
Yang lemah tersingkir bagai bangkai
Yang jaya makin congkak haus kemewahan
Tak ada lagi patri asih sesama
Rentenir-rentenir lenggak lenggok jalan pemangsa
Tangis bayi habis suara
Priuk nasi terganti pucuk-pucuk akasia
Sementara itu dewa-dewa rakyat berebut kursi nan empuk
Duduk manis dengan perut makin gendut
Hilang sudah janji-jnji pengisi perut
Duit simiskinpun terus diparut
Musnah asa dalam nestapa
Kardus bekas tetap seperti itu adanya
Kolong jembatan penuh sesak hingga tua
Sementara sikaya makin kaya
Inikah kewarasan dari negeri nan elok
Dihuni mucikari-mucikari rakyat yang goblok
Sungguh tak layak dengan hasil bumi yang terus diobok-obok
Dasar serakah, tikus got yang jorok
Menangis, para tetua bunda
Istana nan elok dari kardus musnah sudah
Sabarlah ini hanya awal yang tak jelas akhirnya
Kembali kemasa di atas tumpukan sampah
Puisi : Bahagiaku Di Ujung Tanduk
saat bahagia bersamamu
kian meluap merekah mekar mewangi
mengisi relung hatiku
di sepanjang waktu ku selalu bahagia
entah kapan
bahagiaku di ujung tanduk
tangis ku rasa tiap saat
resah dan gelisah mewarnai hariku
kini ku hidup dengan sisa -sisa kenangan
bahagiaku di ujung tanduk
merobek semua memori yang kusimpan
kankah bahagiaku kembali bersua
walau bahagiaku diujung tanduk
ku kan selalu mengenaNg
Comments
Post a Comment